DIALEKTIKA AKU DAN PEREMPUAN (TINJAUAN) FILSAFAT LIYAN MENJELANG REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Abstrak :
Saya menggunakan
metodologi studi pustaka dalam tulisan artikel ini. Di mana, saya mencoba untuk
menggali dialektika aku dan perempuan dalam menghadapi dunia zaman ini. Dunia
yang saya maksudkan adalah dunia revolusi industri 4.0. Dialektika aku dan
perempuan merupakan dialog antara aku sebagai subjek dan perempuan sebagai
objek dalam memahami makna persahabatan. Persahabatan aku dan perempuan dalam
menyongsong revolusi industri 4.0. Dialektika aku dan perempuan sebagai
persahabatan dalam memahami makna panorama metafisika. Perjalanan dialektika
aku dan perempuan semakin diterangi dengan pendapat dari Armada Riyanto
tentang,”Filsafat Liyan”. Di dalam Filsafat Liyan terdapat beberapa point
penting yang saya gunakan dalam tulisan artikel ini. Paradigma dialektika aku
dan perempuan sebagai persiapan diri dalam menjelang revolusi industri 4.0 yang
dibalut dengan panorama metafisika. Saya sadar bahwa spekulasi yang saya
tulisankan dalam artikel ini tidak terlepas dari keprihatinan saya akan
kehadiran revolusi industri 4.0 dalam kehidupan manusia dewasa ini.
Kata Kunci: Dialektika, Perempuan, Persahabatan,
Revolusi, Liyan, Keprihatinan
1.
Dialektika
Sokrates
menggunakan metode dialektika dalam mencari makna kebenaran dari orang yang
sedang berdialog dengannya. Perjalanan dialog tidak terlepas dari keberadaan
orang lain dalam kehidupan kita. Dialektika aku dan perempuan dalam menyongsong
revolusi industri 4.0 dalam artikel ini, sesungguhnya sebagai metode aku dan
perempuan (liyan) dalam mencari identitas sebagai pribadi yang berakal budi.
Akal budi aku dan perempuan dalam menyongsong revolusi industri 4.0 yang
belakangan ini marak dibicarakan oleh media. Entah itu melalui media massa
maupun media elektronik yang selalu menghiasi kisah peziarahan manusia di zaman
ini.
Dialektika
aku dan perempuan dalam menyongsong revolusi industri 4.0 merupakan persiapan
mental aku dan perempuan (liyan) untuk menerima perubahan tersebut. Kisah
perjalanan dialektika aku dan perempuan, pertama – tama berangkat dari patokan
paradigma masalah – masalah sosial yang dialami oleh manusia di zaman revolusi
industri 3.0 saat ini. Dialektika aku
dan perempuan semakin terjalin lebih mendalam. Kedalaman dialektika aku dan
perempuan disatukan melalui satu tujuan yakni sebagai makhluk yang berakal
budi. Akal budi aku dan perempuan disadarkan oleh fenomena – fenomena kehidupan
yang silih berganti datang dan pergi dalam dinamika kehidupan manusia di zaman
modern ini. Kesadaran akan perkembangan dunia yang semakin cepat ini merupakan
panorama metafisika. Di mana dialektika aku dan perempuan sebagai kompas untuk
menerima kedatangan revolusi industri 4.0 dalam kehidupan ini.
Dialektika
aku dan perempuan dalam menyongsong revolusi industri 4.0 sebagai salah satu
metode strategis antara aku dan perempuan (liyan) dalam memahami panorama
metafisika. Panorama dialektika aku dan perempuan (liyan) sebagai satu entitas
aku sebagai subjek dan perempuan sebagai objek yang tidak dapat dipisahkan oleh
waktu dan ruang. Waktu dan ruang merupakan dua entitas yang akan tetap eksis
dalam peradaban manusia di dunia ini. Dialektika aku dan perempuan sebagai satu
kesadaran diri. Hal ini senada dengan
salah satu ungkapan bijak para filsuf Yunani yang sudah tidak asing lagi
bagi orang – orang yang berkecimpung dalam dunia filsafat. Know yourself. Kenalilah Dirimu sendiri.[1]
Saya melihat kesadaran diri dalam dialektika aku dan perempuan dalam
menyongsong revolusi industri 4.0 dalam artikel ini merupakan satu mutiara yang
sangat berharga. Keberhargaan mutiara dari dialektika aku dan perempuan (liyan)
sebagai salah satu kemajuan aku sebagai subjek dan perempuan sebagai objek
dalam persiapan diri untuk menyambut revolusi industri 4.0. kesadaran diri aku
dan perempuan (liyan) dalam memahami eksistensi manusia sebagai makhluk yang
berakal budi.
Know yourself
adalah langkah pertama perjalanan manusia menggapai kebenaran. Dengan “langkah”
dimaksudkan kesadaran. Inilah
kesadaran awal manusia dalam membangun filsafat.[2]
Saya
mengambil hipotesa sementara bahwa kesadaran diri aku dan perempuan dalam
menyongsong revolusi industri 4.0 merupakan langkah awal untuk menuju kepada
gerbang kesadaran diri. Dialektika aku dan perempuan sebagai subjek dan objek
yang memiliki satu relasi. Koneksi antara aku dan perempuan dalam dialektika.
Kesadaran diri aku dan perempuan dalam dialektika ini merupakan langkah awal
dalam membangun paradigma perjalanan aku dan perempuan dalam menggapai
kebenaran. Tentunya kebenaran dalam hal ini adalah kebenaran virtue. Kebenaran yang berkaitan dengan
nilai – nilai kebajikan atau nilai keutamaan dalam kehidupan bersama dengan
orang lain. Dalam konteks ini adalah dialektika aku sebagai subjek dan
perempuan sebagai objek. Relasi aku sebagai subjek dan perempuan sebagai objek
tidak akan pernah dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengapa? Karena dialektika
aku dan perempuan dalam menyongsong revolusi industri 4.0 sebagai jalan satu –
satunya untuk menuju kepada pintu perubahan revolusi industri 4.0. Dialektika
aku dan perempuan juga memberikan kesadaran absolut sebagai bekal untuk menghadapi
perubahan revolusi industri 4.0 yang akan datang. Kesadaran aku dan perempuan
menjadi kekuatan dalam memaknai perkembangan akal budi manusia dalam berkreasi.
Artinya, kesadaran aku dan perempuan dalam dinamika dialektika ini, merupakan
satu kekuatan dan keberanian untuk menghadapi perubahan dunia yang semakin hari
semakin berubah. Akhirnya, kedatangan revolusi industri 4.0 tidak menjadi hantu
bagi aku dan perempuan sebagai makhluk yang berakal budi.
2.
Perempuan
Potretan
perempuan zaman modern ini kerap diidentikkan dengan kecantikan. Kecantikan
dipandang sebagai model kehidupan yang ideal bagi perempuan. Perempuan seakan –
akan diharuskan untuk tampil cantik. Kecantikan inilah yang mereduksi martabat
perempuan sebagai makhluk yang bermartabat dengan segala akal budinya.
Berdasarkan keprihatinan ini, saya terus menggali makna apa dibalik wacana publik
mengenai kecantikan. Proses penggalian informasi yang saya lakukan adalah
melaui sarana dialektika. Dialektika aku dan perempuan dalam menyongsong
revolusi industri 4.0. Dialektika yang saya maksudkan di sini adalah proses
spekulasi aku sebagai subjek yang menganalisa perempuan sebagai objek dari perkembangan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi. Kehadiran teknologi dalam
kehidupan manusia dewasa ini telah membawa paradigma baru mengenai kecantikan
perempuan yang sesungguhnya. Aku sebagai subjek tentunya tidak mau membiarkan
fenomena ini terus menghantui martabat perempuan. Karena aku sebagai subjek
merasa perempuan yang sebagai objek seakan – akan terus dipermainkan oleh media
teknologi. Permainan media teknologi mengenai kecantikan dibalut dengan aneka
macam wacana yang sangat terorganisir dengan baik. Sebagai sahabat aku tidak
mau melihat sistematika permainan ini terus mengaliri sungai kehidupan manusia.
Khususnya perempuan sebagai objek percobaan dari perkembangan media teknologi
dalam kehidupan manusia.
Kekerasan di jaman sekarang terus
terjadi, terutama pada kalangan perempuan. Perempuan sebagai objek penderitaan
mengalami penderitaan yang menindas harkat dan martabat mereka. Kekerasan pada
perempuan terjadi dalam berbagai bentuk. Bentuk itu berupa kekerasan fisik
maupun kekerasan mental.[3]
Di
sini, saya sepaham dengan argumen, ide,
gagasan dari penulis teks yang di atas. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa
kekerasan simbolik pada perempuan telah menodai martabat perempuan sebagai
makhluk yang berakal budi. Peristiwa pencitraan ini telah mencerminkan adanya
ranah keegoismean dalam diri orang – orang yang terlibat di dalam permainan
pencitraan martabat perempuan ini. Mereka bertindak seolah – olah dunia
perempuan bisa seenaknya dipermainkan begitu saja, sebagaimana jenis
pertandingan olahraga sepakbola antara Real Madrid dan Juventus dalam memperebutkan
kejuaraan champions pada tahun 2017 silam. Jenis pertandingan ini telah
menghipnotis ribuan bahkan jutaan mata seluruh masyarakat dunia untuk
menyaksikan jenis pertandingan ini. Hal ini juga berlaku dalam fenomena
pencitraan martabat perempuan melalui dunia kapitalisme. Dunia yang dibalut
dengan sejuta kenyamanan, kenikmatan dan kepuasaan batiniah oleh para pemangku
yang memiliki wewenang dalam dunia ini. Akan tetapi dibalik kenikmatan dan
kenyamanan itu harus dibayar dengan penderitaan perempuan yang selalu
dipermainkan dalam dunia kapitalisme, khususnya yang berkaitan dengan
teknologi.
Teknologi
telah memasuki sendi – sendi kehidupan manusia yang tersembunyi.
Ketersembunyian segala apa yang ada dalam diri manusia, khususnya perempuan
yang berperan sebagai objek dalam perkembangan teknologi di era mutakhir ini.
Apa pun yang ada dalam diri perempuan selalu diperlihatkan, dipertontonkan bagi
jutaan pasangan mata yang berada di dunia ini, mulai dari masyarakat yang
berada di pelosok sampai dengan masyarakat yang berada di kota – kota
metropolitan dewasa ini. Sajian segala apa yang tersembunyi dari perempuan
kepada publik telah mengalienasi atau mengasingkan manusia dari dirinya sendiri
sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang sama dalam proses
peziarahan ini.
Peziahan
perempuan sebagai makhluk yang berakal budi dengan segala kebebasannya telah
dibatasi dengan kehadiran teknologi. Perempuan tidak memiliki ruang yang cukup
untuk menjalani kehidupan dengan tenang. Karena segala apa yang ada dalam diri
mereka selalu diperlihatkan kepada publik. Antara media massa yang satu dengan
lainnya telah mengadakan perlombaan untuk mengekspose hal – hal yang menarik
dari perempuan. Perempuan dijadikan sebagai lahan yang subur untuk mendatangkan
pundi – pundi keuntungan yang melimpah bagi para penguasa kapitalisme.
Pertanyaan refleksi bagi para pembaca adalah, di manakah letak eksistensi
perempuan sebagai makhluk yang bermartabat? Apakah martabat perempuan hanya
bisa diukur melalui kehadiran mereka dalam acara – acara yang mendatangkan
pundi – pundi kebahagiaan bagi para penguasa kapitalisme? Di manakah hati
nurani kita sebagai makhluk yang berasal dari Sang Pengada yang satu?
Pertanyaan
– pertanyaan di atas merupakan keprihatianan terbesar saya dalam menyaksikan
penderitaan fisik dan mental perempuan dalam perkembangan teknologi dewasa ini.
Bentuk – bentuk pertanyaan ini telah menghantar saya pada kesadaran yang
semakin mendalam mengenai eksistensi saya sebagai makhluk yang berakal budi.
Hal demikian senada dengan apa yang diungkapkan oleh Armada Riyanto selama
proses perkuliahan berlangsung. Di mana ia mengatakan bahwa Heidegger menyakini
manusia menyadari kesadaran penuhnya pada saat orang berada di pinggiran
eksistensinya. Artinya, saat – saat orang ada dalam keterbatasannya dan pada
saat itulah orang tidak bisa melepaskan diri dari kesadaran akan siapa dirinya,
siapa eksistensinya.[4]
Korelasi
pernyataan di atas dengan penderitaan perempuan saat ini adalah, saya melihat
perempuan mulai menyadari dirinya yang selama ini didiskriminasi oleh kehadiran
dunia teknologi. Teknologi telah menghadirkan sekat – sekat antara perempuan
yang cantik dan perempuan yang tidak cantik. Kecantikan dilihat dan dinilai
dari postur tubuh perempuan ideal yang telah dihadirkan oleh media – media
massa dalam kehidupan manusia setiap hari. Proses peziarahan manusia terus
divitamini oleh dunia kapitalisme. Berangkat dari titik inilah perempuan
membutuhkan orang lain untuk mengeluarkannya dari kegelapan dunia gua yang
selama ini menghalanginya untuk melihat realitas yang sebenarnya. Karena perempuan
selama ini hanya bisa berdiam diri di dalam gua, sembari menunggu bayangannya
yang semakin mengekangnya untuk beralih dari bayangan tersebut menuju kepada
kehidupan dunia luar gua yang kelihatan. Di sinilah peran saya sebagai subjek
dibutuhkan. Di mana saya menggunakan jalur dialektika untuk terus menggali
penderitaan mereka, kemudian saya bertanggung jawab untuk menyuarakan aspirasi
mereka melaui cara saya sendiri.
Waktu
pun terus beralih dari detik, menit, sejam, sebulan sampai dengan setahun, saya
pun memiliki tanggung jawab yang besar untuk berpartisipasi dalam menyuarakan
penderitaan perempuan di zaman modern ini. Salah satu cara yang dapat saya
gunakan adalah melalui kegiatan menulis. Karena dalam menulis, saya memiliki
kebebasan yang penuh untuk mengungkapkan segala apa yang ada dalam realitas
yang berkaitan dengan penderitaan perempuan. Karena dalam kegiatan menulis,
saya rasa tidak ada intervensi dari pihak mana pun untuk menghalangiku.
Kebebasan ada di dalam genggaman tanganku untuk menyuarakan aspirasi dari
penderitaan perempuan. Peristiwa – peristiwa ini merupakan kesadaran saya
sebagai manusia yang berakal budi.
Fenomena
– fenomena penderitaan perempuan sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama
semua elemen masyarakat dalam memperjuangkannya melalui cara dan gaya masing –
masing individu. Bayangkan saja sekarang, penderitaan perempuan telah
menyentuh, merasuki seluruh alam dimensi kehidupan perempuan dalam mencari
makna peziarahannya di dunia ini yang sangat menyiksa dan menindas martabat
perempuan. Apabila kalau kedatangan revolusi industri 4.0 yang berkaitan dengan
konektivitas internet dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Apa yang akan
terjadi dengan martabat perempuan? Apakah mereka akan semakin ditindas? Ataukah
mereka mendapatkan kebebasan sebagai manusia yang utuh? Inilah pertanyaan
penuntun bagi kita semua dalam memperjuangkan martabat perempuan dalam
menyongsong atau menjelang kehadiran revolusi industri 4.0 yang akan datang.
Sebagai sahabat, saya selaku subjek akan terus berkarya dengan cara saya
sendiri dalam memperjuangkan kehadiran diri saya dalam martabat perempuan.
Inilah makna dialektika aku dan perempuan dalam menyongsong revolusi industri
4.0.
3.
Persahabatan
Eksistensialisme
juga lahir dari “protes” terhadap contoh kehidupan massal manusia – manusia
modern.[5] Saya
melihat dan merasa bahwa seorang yang berkecimpung dalam diskursus ilmu
filsafat harus memiliki rasa empatik dengan ketidakadilan dan kebenaran yang
dialami oleh dunia perempuan zaman modern ini. Di sini, saya menemukan hipotesa
sementara akan makna persahabatan saya sebagai subjek dan perempuan sebagai
objek dalam peziaran akal budi saya di alam semesta ini. Inilah pertautan
panorama metafisika dengan relasionalitas yang saya pahami selama proses
perkuliahan metafisika dalam semester ini. Saya rasa korelasi ini juga
memberikan sumbangsih bagi setiap orang yang akan terjun dalam memperjuangkan
kesamaan martabat perempuan di zaman modern ini.
Dialektika
aku dan perempuan telah memasuki fase peralihan tingkat kedua. Di mana dalam
tingkat pertama saya selaku subjek hanya bisa memandang perempuan sebagai objek
tanpa bisa berbuat apa – apa. Akan tetapi, di sini, saya melihat bahwa seorang
sahabat harus bisa melakukan sesuatu kepada sahabatnya. Persahabatan sejati
tidak hanya terjalin ketika semuannya berada dalam kondisi yang kondusif.
Tetapi, persahabatan sejati dapat dibuktikan ketika melihat sahabatnya berada
dalam situasi yang tidak kondusif. Sebagai sahabat, saya merasa kepribadian
saya yang berada di dalam diri perempuan sebagai objek, benar – benar berada
dalam kondisi yang kritis. Mengapa? Karena martabat perempuan dijadikan sebagai
barometer kesuksesan bagi orang – orang yang memiliki wewenang dalam dunia
teknologi. Para pemegang wewenangan dalam dunia teknologi telah menciptakan
teknologi, bukan saja hanya untuk kemajuan dunia, melainkan juga untuk menindas
martabat perempuan. Perempuan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, sosial,
budaya, dll. Dimensi – dimensi kehidupan ini telah mengafirmasikan bahwa perempuan
tidaklah sekedar hanya sebagai seorang manusia yang memiliki martabat yang
setara, melainkan lebih daripada itu perempuan dilihat sebagai peluang untuk
meraih sesuatu bagi para pemangku jabatan dalam dunia teknologi. Di mana kalau
kita melihat situasi kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia dari
zaman dahulu sampai dengan sekarang, perempuan selalu dipandang sebagai
penghuni setia kedua dalam kehidupan bermasyarakat.
Perempuan
menyandang status nomor dua abadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya patriarki masih hidup dalam masyarakat Indonesia dari sejak dahulu,
sekarang dan nanti. Meskipun dalam pemberitaan media massa yang mengatakan
bahwa budaya patriarki sudah ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, namun
realitasnya masih ada dan akan selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat. Jika
kondisi ini dialami oleh laki – laki, apa yang akan kita lakukan sebagai
seorang laki – laki? Tentunya kita akan berjuang untuk keluar dari kungkungan
budaya kehidupan tersebut. Itulah yang dialami oleh perempuan saat ini dan yang
akan datang.
Masa
reformasi tidak mengubah apa pun bagi martabat perempuan. Reformasi akan terus
beralih dari fase kehidupan yang satu ke fase berikutnya. Akan tetapi, perempuan
akan selalu menjadi objek percobaan bagi siapa pun yang berkepentingan dalam
dunia politik, budaya dll. Kita harus mengakui bahwa kehadiran jasa perempuan
sangat memberikan sumbangsih terbesar dalam kemajuan dunia politik, budaya dll.
Namun dibalik itu semua, kita harus membayar mahal dengan penderitaan dan
diskriminasi dari perempuan sendiri. Perempuan tidak berdaya untuk melawan arus
kehidupan ini. Perempuan hanya bisa terjun ke dalam arus kehidupan ini demi
bertahan hidup. Di manakah dunia kehidupan perempuan? Apakah dunia kehidupan
perempuan hanya berada pada tataran penderitaan dan diskriminasi yang tak
kunjung berakhir? Jika kita menyadari diri sebagai makhluk yang berasal dari
satu substansi, kita akan melakukan sesuatu. Tidak peduli sekecil apa pun
sumbangan dari kita demi kebahagiaan perempuan yang terus hidup dibawa
penderitaan dan diskriminasi. Perempuan akan merasa tenang, jika kita sebagai
laki – laki juga ikut memperjuangkan aspirasi mereka untuk keluar dari bayangan
diskriminasi dan penderitaan yang mereka alami dengan cara dan gaya kita. Jika
kita berhasil melakukan usaha apa pun demi kebaikan martabat perempuan, di
situlah letak eksistensi kita sebagai seorang sahabat.
Eksistensi
sahabat ditunjukkan melalui dialektika. Karena dalam dialektika, kita akan
mendapatkan solusi. Solusi yang kita dapatkan bisa dijadikan sebagai kerangka
untuk membangun argumentasi kita dalam memperjuangkan martabat perempuan.
Sebagaimana dialektika yang dilakukan oleh Sokrates dalam mendapatkan ilmu dari
lawan bicaranya. Metode dialektika ini akan tetap relevan dalam kehidupan kita.
Kita membutuhkan metode ini untuk meminimalisir penderitaan perempuan dibawa
bayangan dunia teknologi. Kehadiran metode ini tidak akan berhasil 100% dalam
menyelesaikan problematika ini. Karena masalah akan selalu eksis dalam kehidupan
kita. Inilah realitas kehidupan yang tidak bisa kita elakkan lagi. Akan tetapi,
yang terpenting bagi kita adalah terus berusaha untuk berpartisipasi dalam
perjuangan melawan kungkungan dunia teknologi. Jangan sampai teknologi
menghipnotis kita untuk terus menindas perempuan yang sebagai bagian dari diri
kita.
Eksistensi
penderitaan dan diskriminasi perempuan merupakan bagian dari diri kita sendiri.
Mengapa saya katakana demikian? Karena merujuk pada referensi yang selalu
dihadirkan oleh media – media massa mengenai penderitaan dan diskriminasi dalam
seluruh dimensi kehidupan perempuan dewasa ini, saya merasa sebagai sahabat
tidak boleh berdiam diri dalam situasi kenyamanan, kenikmatan saya sendiri.
Saya harus membantu keberadaan diri saya yang berada dalam diri perempuan
dengan jalan dialektika. Dialektika antara aku sebagai subjek dan perempuan
sebagai objek penderitaan. Artinya, saya harus berani keluar dari zona nyaman
saya selama ini untuk mengadakan dialog dengan perempuan yang menjadi objek
penderitaan teknologi dewasa ini. Fenomena ini memiliki kesulitannya
tersendiri, namun seorang sahabat harus ikut ambil bagian dalam seluruh dimensi
penderitaan diri saya yang berada di dalam kepribadian perempuan. Perempuan
bukanlah bagian yang terpisah dari diri saya sendiri. Melainkan, saya dan
perempuan merupakan satu entitas yang memiliki tubuh dan jiwa. Elemen – elemen
dasar inilah yang mendukung adanya gerakan penolakan dalam diri saya untuk
berpartisipasi dalam memperjuangkan gerakan feminisme untuk mendapatkan
perlakuan yang sama, baik di mata hukum maupun dalam seluruh dimensi kehidupan
bermasyarakat. Saya menemukan keberanian ini dengan dukungan dari salah satu
ungkapan bijak yang mengatakan demikian, “keberanian untuk menggunakan akal
budi sendiri”(sapere aude). Fondasi ungkapkan ini memiliki sarat makna. Di mana
saya menafsirkannya sebagai bentuk dukungan bagi saya sebagai makhluk hidup
dengan akal budi yang bebas harus bertanggung jawab dalam memajukan kehidupan
yang berlandaskan pada cinta. Saya mencintai orang lain bukan berarti orang
lain telah berbuat baik kepada saya. Melainkan saya mencintai orang lain,
karena saya berasal dari cinta yang murni dari Sang Pengada.
Cinta
yang agung atau murni merupakan dasar dari persahabatan. Inilah letak
eksistensi panorama metafisika dan relasionalitas manusia. Manusia tidak akan
terlepas dari cinta. Cinta dapat mengubah segala sesuatu. Sebagaimana yang
dikatakan dalam lirik lagu “love changes
everything”. Berangkat dari titik tolak inilah, saya mencoba untuk
mengungkapkan cinta persahabatan saya kepada perempuan dengan jalan dialektika.
Meskipun jalan dialektika dalam konteks ini adalah saya hanya berspekulasi dan
bergulat dengan diri saya sendiri, ketika melihat dinamika kehidupan perempuan
yang semakin didiskriminasikan oleh kehadiran dunia teknologi. Eksistensi
teknologi telah mereduksi martabat manusia ke dalam kegelapan yang sangat
berkepanjangan dalam sejarah hidup manusia. Manusia memiliki sejarah kehidupan
diskriminasi oleh dunia teknologi. Dalam konteks ini adalah perempuan.
Perempuan dijadikan kelinci percobaan dunia teknologi. Khususnya percobaan
imajinasi dari orang – orang yang berkepentingan di dalamnya. Kondisi ini
tidaklah mengindikasikan bahwa saya menolak kehadiran teknologi. Melainkan saya
hanya mengungkapkan kecemasan saya mengenai martabat manusia, khususnya pihak
perempuan telah diasingkan dari martabatnya sebagai makhluk yang bermartabat.
Eksistensi
manusia hanya dilihat dari ruang yang sempit. Kesempitan pandangan ini telah
melahirkan sikap egoisme dalam diri manusia. Manusia semakin egois dalam
mendapatkan sesuatu di bawah penderitaan orang lain. Korban utama dari sikap
egoisme ini adalah perempuan. Perempuan telah direndahkan. Diskriminasi ini
semakin didukung dengan adanya kehadiran dunia teknologi dari kreasi akal budi
manusia sendiri. Manusia menciptakan teknologi untuk menjauhkan martabatnya.
Artinya, kehadiran teknologi memberikan sekat – sekat antara laki – laki dan
perempuan dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Martabat manusia berada di bawah
kuasa teknologi. Eksistensi teknologi lebih tinggi daripada eksistensi manusia.
Lalu, di manakah letak eksistensi persahabatan? Saya melihat letak eksistensi
persahabatan dalam era teknologi ini berada dalam masa kehampaan. Di mana
persahatan hanyalah sekedar ruang kosong belaka. Kekosongan makna, arti dari
persahabatan sejati manusia. Martabat manusia yang berkaitan dengan perempuan
akan tetap menjadi wacana publik, tanpa adanya tindakan nyata dalam mencari
jalan keluar dari problematika yang dialami oleh perempuan sebagai bagian
integral dalam kehidupan manusia.
Eksistensi
perempuan merupakan eksistensi manusia seluruhnya. Artinya, tanpa kehadiran
dunia perempuan, dunia laki – laki pun akan mengalami kekosongan. Begitu pun
dengan eksistensi dunia laki – laki. Antara misteri dua dunia ini telah
disatukan dalam satu misi. Misi yang paling esensial dari dunia perempuan dan
dunia laki – laki adalah mencari makna persahabatan. Persahabatan yang
berpatokan pada misteri cinta. Namun makna cinta ini tidaklah berjalan sesuai
dengan koridornya. Karena antara dunia yang satu dan dunia yang lainnya telah
terjadi persaingan. Persaingan diciptakan melaui cara yang tidak adil dan
benar. Keadilan dan kebenaran manusia berada di bawah pusat terendah kehidupan
manusia. Manusia tidak mengenal arti dari sahabat. Karena makna persahabatan
hanyalah dipandang dari sudut atau dimensi teknologi. Jika esensi dari
persahabatan yang sempit ini terus berlanjut, bagaimana yang akan terjadi
dengan martabat perempuan menjelang kehadiran dunia revolusi industri 4.0?
4.
Revolusi
Istilah
revolusi industri 4.0 pertama kali saya dengar dalam proses perkuliahan
metafisika bersama dengan Profesor Armada Riyanto, di Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang. Di mana ia mengatakan bahwa dunia akan memasuki
revolusi industri 4.0. Dunia revolusi industri dibagi dalam empat fase.
Revolusi
industri 1.0 yang berkaitan dengan listrik
Revolusi
industry 2.0 yang berkaitan dengan mesin – mesin
Revolusi
industry 3.0 yang berkaitan dengan komputer
Revolusi
industry 4.0 yang berkaitan dengan jaringan internet (semuanya terkoneksi
dengan internet).
Demam
pembicaraan media massa akhir – akhir ini tidak terlepas dari revolusi industri
4.0. Kehadiran revolusi industri 4.0 dipandang sebagai ancaman terbesar dalam
sejarah peziarahan manusia. Manusia akan teralienasi dari martabatnya sendiri.
Artinya, segala sesuatu akan dikendalikan oleh jaringan internet. Lalu di
manakah peran martabat manusia dalam menciptakan sejarah hidupnya? Apakan
sejarah kehidupan manusia akan berada di bawah kendali mesin? Inilah kecemasan
terbesar manusia dewasa ini. Problematika ini akan semakin mencekam perempuan.
Saya rasa, perempuan akan semakin ditindas dengan kehadiran revolusi industri
4.0. Eksistensi perempuan akan berada di dalam titik terendah sebagai keutuhan
ciptaan.
“Situasi pinggir” atau “situasi
batas” dalam pengalaman eksistensial manusia – menurut Heidegger – memiliki
makna yang secara eksistensial mengubah. Bukan terutama mengubah hidup manusia
secara amat mendalam. “Situasi batas” bukanlah situasi fisik lokalis. Tetapi,
itu situasi eksistensial. Manusia seakan berada di ambang batas dirinya dan
yang bukan dirinya. Situasi batas ini lantas memungkinkan manusia untuk
“melawan” siapa dirinya, makna hidupnya dengan “yang bukan apa – apa”.[6]
Saya
berpendapat bahwa situasi penderitaan dan diskriminasi perempuan akan
memberikan ruang yang besar bagi mereka untuk bergulat dengan diri mereka
sendiri. Pergulatan mereka dalam menemukan siapakah eksistensi mereka? Apakah
eksistensi mereka hanya berada di dalam ketidakberdayaan? Saya melihat
referensi dari pemikiran Heidegger ini telah memberikan benang merah bagi saya
untuk menelusuri penyebab dari penderitaan dan diskriminasi yang berkepanjangan
dalam diri perempuan menjelang revolusi industri 4.0. Saya melihat perubahan
atau peralihan dunia revolusi industri 1.0 – 4.0 telah mengubah eksistensi
manusia ke arah yang negatif. Perubahan negatif ini dialamai oleh perempuan
dalam memperjuangkan martabat mereka. Mereka akan terus berjuang dalam
menghadapi perubahan atau peralihan dunia revolusi industri yang semakin membawa
manusia ke dalam sistem perkotakkan manusia berdasarkan jenis kelamin.
Perempuan akan terus didiskriminasi dan ditindas. Sementara laki – laki akan
semakin berbangga akan eksistensinya sebagai makhluk yang memiliki kekuatan
super dalam menguasai dunia perempuan. Kehadiran dunia perempuan hanyalah
dipandang sebagai pelengkap dunia laki – laki. Sistematika ini telah membawa
martabat perempuan dalam dunia perlawanan.
Perlawanan
perempuan untuk mendapatkan pengakuan martabat yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat. Kadang – kadang sebagian besar masyarakat memandang perjuangan perempuan
untuk keluar dari penderitaan dan diskriminasi tidak memiliki apa – apa.
Artinya, nilai perjuangan perempuan sama sekali tidak diakui sebagai makhluk
yang juga memiliki kebebasan akal budi dalam menciptakan dunianya sendiri.
Padahal sokrates pernah mengatakan bahwa, “Know yourself” adalah sebuah
pengembaraan akal budi untuk memeluk kebenaran. Saya melihat dalam konteks
perjuangan perempuan yang tidak diakui oleh segelintir orang berlawanan dengan
pendapat Sokrates yang di atas. Karena jika manusia mengetahui hakekat dari
eksistensi akal budi manusia yang bebas, tentunya pandangan itu akan dengan
sendirinya tidak eksis. Mengapa? Karena orientasi dari pengembaraan akal budi
manusia adalah untuk memeluk kebenaran. Lantas, bagaimana dengan kebebasan akal
budi dunia perempuan dalam memperjuangkan hak dan kewajiban mereka? Problematika
inilah yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia di era modern ini. Di mana
perempuan tidak memiliki ruang gerak yang bebas sebagaimana ruang gerak yang
dimiliki oleh laki – laki dalam mengekspresikan dunia kehidupannya sendiri
dalam menemukan makna dari peziarahan hidup.
Peziarahan
dunia perempuan Indonesia tidak sebebas yang dialami oleh dunia perempuan yang
berada di belahan bumi yang lainnya. Proses pengekangan kebebasan perempuan
sudah terorganisir dengan rapi dan sistematis. Sistem pengorganisasian ini
merupakan harga mati yang harus diakui dan dijalankan oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Jika ada orang yang melanggar sistem ini, orang tersebut dicapai
sebagai penghianat. Fenomena ini yang membuat dilema bagi mereka yang ingin
terjun ke dalam perjuangan bersama melawan penindasan dan diskriminasi dari
perempuan Indonesia. Problematika inilah yang merupakan hantu terbesar
masyarakat Indonesia dewasa ini. Manusia Indonesia tidak memiliki kebebasan
ruang akal budi untuk mengekspresikan eksistensinya. Karena manusia Indonesia
sedari kecil sudah terpatri dogmatisasi pengekangan akal budi. Pengekangan akal
budi manusia Indonesia yang paling mengerikan adalah berada di zaman kekuasaan
orde baru. Segala sesuatu diatur oleh segelintir orang yang berkepentingan
dalam dunia pemerintahan. Dogmatisasi pengekangan akal budi inilah yang
melahirkan sikap apatis, acuh tak acuh manusia Indonesia dalam memperjuangkan
martabat perempuan. Orang menjalankan hukum kebenaran bukan berdasarkan prinsip
kebenaran dan keadilan. Melainkan orang menjalankan hukum karena takut dikenai
sangsi dari lembaga pemerintahan. Fenomena ini membuat hati saya teriris –iris
dengan kebebasan akal budi manusia Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi
yang besar dalam mengubah sejarah peradaban dunia dalam seluruh dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, karena pengekangan akal budi
manusia Indonesia yang sudah terdogmatisasi, inilah yang membuat manusia
Indonesia tidak berani untuk mengekpresikan eksistensinya dengan bebas dan
bertanggung jawab.
Revolusi
industri adalah revolusi sosial. Societas bukan saja tercipta, tetapi juga
terbelah – belah. Societas tercipta, seiring dengan kemunculan pabrik, pasar,
masyarakat, produsen – konsumen. Societas terbelah – belah, sebab stratifikasi
sosial muncul bak jamur. Tiba – tiba
jurang perbedaan antara si kaya dan miskin menciptakan kotak – kotak kategorial
sekaligus kurungan kultural baru. Masing – masing seakan bersaing dan
memunculkan isu persoalan runyam yang tiada kembarannya sebelum, bagaikan api
dan sekam. Demikianlah, societas menjadi ranah peradaban kehidupan yang
membahayakan.[7]
Saya berpendapat
bahwa, revolusi telah menghadirkan jurang pemisah antara penguasa dan rakyat
biasa. Rakyat biasa yang saya maksudkan di sini adalah perempuan. Sementara
penguasa adalah laki – laki. Di mana dunia perempuan dan dunia laki – laki
dibagi ke dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Pengklasifikasian manusia
berdasarkan jenis kelamin ini telah melahirkan penderitaan bagi perempuan.
Perempuan dan laki – laki telah bersaing untuk mengekspresikan eksistensinya
sebagai makhluk yang memiliki akal budi. Persaingan ini selalu dimenangkan oleh
laki – laki. Karena laki – laki merupakan penguasa. Karena memiliki kekuatan
super daripada perempuan. Fenomena ini juga dialami oleh produsen dan konsumen
dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat dikelompokkan berdasarkan status.
Jenis pengelompokkan ini telah memisahkan manusia dari dunianya yang bebas dan
bertanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab manusia dibatasi oleh kehadiran
dunia teknologi. Teknologi melahirkan pengekangan akal budi manusia dalam
mencari makna kebebasan akal budi. Dalam konteks ini yang berkaitan dengan
pengekangan akal budi yang dialami oleh perempuan. Perempuan terus diperalat
dalam kehidupan bersama. Orang hanya membutuhkan jasa perempuan dalam
mendapatkan kenikmatan dan kesuksesan dalam karier. Namun dibalik itu semua,
martabat perempuan diinjak – injak, ditindas dan didiskriminasi dari
eksistensinya sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan kehendak bebas dari
Sang Pengada. Atau bagi kita yang memiliki iman kepercayaan adalah Tuhan yang
kita sembah masing – masing dalam kepercayaan kita. Sementara bagi kepercayaan
lain, Sang Pengada adalah segala sesuatu yang berasal dari alam sementa ini.
5.
Keprihatinan
Saya
melihat dan merasa bahwa kehadiran revolusi industri 4.0 akan membawa perubahan
besar dalam paradigma terhadap martabat perempuan. Perempuan akan dijadikan
sebagai kelinci percobaan dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Perempuan
akan teralienasi dari eksistensinya. Eksistensi perempuan akan terus dipermainkan
oleh orang – orang yang berkepentingan dalam menciptakan jaringan internet.
Konektivitas internet dalam seluruh dimensi kehidupan akan memudahkan orang
untuk semakin menindas perempuan.
Saya
rasa mungkin ada banyak masalah mengenai martabat perempuan. Di mana jasa
perempuan dalam kehidupan akan digantikan oleh kehadiran mesin – mesin yang
serba cepat dan canggih dalam melayani kebutuhan hidup manusia. Fenomena ini
sama saja mempermainkan martabat perempuan sebagai makhluk yang memiliki
kebebasan absolut dalam menciptakan sejarah hidupnya dengan bebas dan
bertanggung jawab. Tanggung jawab perempuan akan digantikan dengan kehadiran
dunia teknologi, khususnya yang berkaitan dengan teknologi. Ketika perempuan
berada dititik ini, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa orang – orang yang
memiliki wewenang dalam seluruh dimensi kehidupan akan semakin berani dalam
mempermainkan martabat perempuan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai
seorang sahabat yang merupakan bagian integral dari diri kita sendiri. Perempuan
adalah liyan dalam diri kita sendiri. Lalu, mengapa harus terjadi penindasan
dan diskriminasi perempuan dalam seluruh dimensi kehidupan manusia?
Kehadiran
revolusi industri 4.0 bagi bangsa Indonesia akan semakin memporak – porandakan
paradigma kehidupan manusia Indonesia. Indonesia akan mengalami krisis
kepercayaan yang sangat membahayakan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat
Indonesia. Di mana, segala kepandaian manusia Indonesia tidak akan berarti di
bawah kuasa mesin. Di sana sini pastilah terjadi pengangguran dalam kehidupan
bermasyarakat. Masyarakat akan semakin dikelompokkan ke dalam kelas – kelas
sosial yang selama ini eksis dalam kehidupan masyarakat. Kelas sosial yang akan
mendapatkan tantangan dan penderitaan adalah perempuan. Perempuan akan diadu
domba dengan wacana publik yang sangat menggiurkan. Sistematika politik adu
domba ini akan semakin menjauhkan perempuan dari kebebasannya.
Kehadiran
mesin super canggih akan memberikan kebebasan ruang diskriminasi bagi martabat
perempuan. Perempuan akan berada di bawah kendali mesin. Mesin diciptakan oleh
akal budi manusia bukan hanya untuk perkembangan manusia, tetapi juga untuk
kemerosotan moral manusia. Moral manusia akan dilihat dari permainan mesin
dalam dunia pemegang teknologi. Artinya, wacana – wacana publik akan
menghadirkan pertandingan antara penguasa yang satu dengan penguasa yang lain
dalam mendapatkan kepercayaan dari perempuan dalam memperoleh kekuasaan. Setelah
mendapatkan kekuasaan, perempuan akan semakin ditindas oleh orang – orang yang
sudah mempublikasikan wacana perjuangan HAM bagi perempuan. Wacana tersebut,
hanyalah sebatas slogan yang akan menarik perempuan dalam dunia para penguasa
yang bersangkutan. Akan tetapi, dibalik itu penindasan dan diskriminasi akan
selalu akan dalam kehidupan perempuan. Di sini, hal terpenting yang mau saya
katakan adalah kita masyarakat Indonesia harus mengadakan revolusi perempuan
dalam mendapatkan martabatnya sendiri sebagai makhluk yang memiliki kebebasan
akal budi. Itulah eksistensi perempuan. Itulah kebenaran. Itulah eksistensi
liyan.
6.
Kesimpulan
Dialektika
aku dan perempuan (tinjauan filsafat liyan dalam menyongsong revolusi industri
4.0) merupakan dialog antara aku sebagai subjek dan perempuan sebagai objek
penderitaan dalam memaknai hakekat manusia yang memiliki kebebasan akal budi
dalam menciptakan sejarahnya. Sejarah hidup manusia tidak boleh diredusir
dengan kehadiran dunia teknologi. Teknologi diciptakan untuk kebaikkan manusia.
Manusia membutuhkan teknologi untuk mengembangkan segala potensinya. Namun,
kadang – kadang manusia terjerumus ke dalam kendali mesin. Manusia dikendalikan
oleh mesin.
Saya
tidak menolak kehadiran dunia teknologi, tetapi yang paling esensial saya
tekankan di sini adalah saya mengkritiki orang – orang yang hidupnya berada
dalam kendali mesin. Ketika orang hidup di bawah kendali mesin, maka orang
tersebut akan semakin egois. Keegoisme-an terbesar dalam diri orang – orang semacam
inilah yang akan melahirkan sikap diskriminasi bagi perempuan. Karena mereka
tidak akan peduli dengan penderitaan perempuan dalam mencari hakekat
eksistensinya sebagai makhluk yang berakal budi. Sebagai seorang sahabat yang
merasa diri saya juga berada di dalam diri perempuan saya harus melakukan
sesuatu untuk keadilan martabat perempuan dengan cara dan gaya saya seperti
dalam spekulasi tulisan ini. Tulisan ini berangkat dari keprihatinan terbesar
yang saya alami dalam menjalani kehidupan bersama dalam bermasyarakat. Di mana
saya melihat dunia perempuan tidaklah mendapatkan kebebasan, sebagaimana yang
dialami oleh dunia laki – laki. Laki – laki dan perempuan dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin. Saya rasa persoalan ini dapat diselesaikan dengan jalan
dialektika. Dialektika yang saya maksudkan di sini adalah seperti yang
dilakukan oleh Sokrates dalam mencari kebenaran dengan lawan bicaranya.
Selain
itu, tulisan saya sangat dipengaruhi oleh filsafat liyan yang digagas oleh
Armada Riyanto. Di mana eksistensi diri kita sebagai manusia juga berada di
dalam diri sesama kita. Inilah makna dari kebebasan akal budi manusia dalam
memahami dunia kehidupannya. Kita tidak dapat membatasi kebebasan orang lain,
hanya karena orang lain berbeda dengan kita. Kita tidak bisa membatasi
kebebasan akal budi manusia di bawah kendali mesin.
Akhirnya,
semoga kehadiran tulisan yang sederhana ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perjuangan martabat perempuan dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
dalam kehidupan bersama. Selain itu juga menjadi modal bagi kita dalam
menyongsong revolusi industri 4.0. Inilah persiapan mental kita dalam
menghadapi dunia yang akan terkoneksi dengan jaringan internet. Marilah kita
menerima revolusi industri 4.0 dengan hati yang terbuka dan selalu bersiap
siaga dalam menghadapi problematika hidup yang tidak akan sesuai dengan
idealism kita sebagai makhluk yang berakal budi dengan segala kebebasannya.
[1] Armada
Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, Yogyakarta: Kanisius, 2018, hlm. 243.
[2]
Ibid., hlm. 244.
[3]
Habel Melki Makarius, Forum Jurnal Ilmiah Filsafat Teologi Potretan Perempuan Masa Kini, (Dominasi Wacana
dan Perempuan: Pencitraan Media terhadap Kekerasan Simbolik Kaum Perempuan), Malang:Widya
Sasana, 2014, hlm. 27.
[4]
Armada Riyanto, Metafisika Sebuah Diktat dan Catatan Kuliah, Malang: Sekolah
Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2004, hlm. 26.
[5]
Armada Riyanto, Op. Cit., hlm. 273.
[6]
Armada Riyanto, Op. Cit., hlm. 27.
[7] Armada
Riyanto, Op. Cit., hlm. 264 – 265.
Kritik dan saran yang membangun selalu dinantikan demi perbaikan blog sederhana ini ke depannya
ReplyDelete