PEOPLE OF MARGINAL
MEMPERJUANGKAN KEADILAN KAUM MARGINAL
ABSTRAK :
Dalam artikel ini, saya
menggunakan metodologi studi pustaka untuk mengelaborasikan pendapat Karl Marx
tentang keadilan kaum buruh dan sila kelima pancasila Negara Republik
Indonesia,”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan tidak
terlepas dari ranah kesejahteraan bagi setiap warga Negara. Negara sudah
memberikan ruang yang cukup bagi kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi, yang
menjadi problematikanya adalah cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan koridor
yang sudah ditetapkan. Uang merupakan raja bagi manusia. Manusia semakin egois
dalam kehidupannya. Karena dengan adanya uang, setiap orang akan memiliki
kebebasan dalam melakukan sesuatu. Kekuasaan uang dapat membuat seseorang untuk
bertindak semena – mena kepada orang lain. Inilah letak ketidakadilan dalam
kehidupan manusia. karena kodrat uang lebih tinggi daripada kodrat manusia.
Manusia teralienasi dari dirinya sendiri, alam, keberadaannya dan manusia lain.
Ketimpangan sosial inilah yang akan melahirkan penganguran di mana – mana.
Ketika sampai pada titik inilah, manusia semakin terceraiberai dari
eksistensinya sebagai makhluk sosial. Manusia hanya dijadikan sebagai alat.
KATA KUNCI : Keadilan, kesejahteraan, kekuasaan,
alienasi, kodrat dan uang.
1. Keadilan
Karl Marx mengatakan
bahwa,”semakin banyak buruh yang memproduksi barang, semakin ia menjadi
miskin”.[1] Apa
yang diungkapkan oleh Karl Marx di atas merupakan realitas yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia dan juga dunia saat ini. Di mana setiap hari para pekerja
terus memproduksi barang dan jasa. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh para
pekerja/buruh tidak mengangkat kesejahteraan hidup mereka. Karena korupsi terus
meraja lelah dalam setiap aspek kehidupan manusia. Lebih parahnya adalah yang
melakukan tindakan korupsi adalah orang – orang yang menamakan dirinya sebagai
kaum intelektual yang memiliki pandangan luas dalam segala aspek kehidupan
manusia. Terutama yang penulis soroti di sini adalah orang – orang yang
memiliki wewenang dalam lembaga – lembaga formal maupun non formal. Akibatnya
yang menjadi korban adalah mereka yang sama sekali berada di luar garis
kekuasaan dalam lembaga tertentu. Akan tetapi, untuk menyuarakan aspirasi
mereka tidak semudah dengan seseorang yang sedang membalikkan telapak
tangannya. Mengapa? Karena hampir sebagian besar lembaga yang berhak untuk
mengadili problematika di atas, dengan mudahnya dikuasai oleh orang – orang
yang memiliki modal. Akibatnya permasalahan yang dihadapi oleh kaum buruh tidak
berkurang, melainkan terus berkembang. Kaum buruh tetap menikmati ketidakadilan
dalam kehidupannya. Sementara kaum yang bermodal terus berlari di atas
penderitaan kaum buruh.
Keadilan kaum buruh
merupakan keprihatinan besar dalam kehidupan kita. Kaum buruh dalam bahasa Karl
Marx disebut: proletar, sementara kaum yang bermodal disebut: borjuis.
Jurang antara kaum buruh dan modal semakin lebar. Problematika ini akan terus
ada sejauh manusia berada. Perihal ini senada dengan ajaran filsuf Elea
Parmenides yang mengatakan bahwa,”yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak
ada”. Di sini saya melihat bahwa problematika kaum buruh dan modal akan tetap
eksis. Karena selama manusia masih hidup, maka dalam kurun waktu itu pula,
masalah akan tetap ada. Masalah akan berakhir, ketika manusia beralih dari
dunia ini. Akan tetapi yang terpenting bagi kita adalah berusaha untuk
memperjuangkan keadilan kaum buruh melalui ide, gagasan, argumen serta tulisan
– tulisan yang dapat memberikan kesadaran kepada setiap orang untuk berbuat
sesuatu dengan problematika yang sedang terjadi dalam lingkungn sekitarnya.
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan
umat manusia, entah di dalam pribadimu atau di dalam pribadi orang lain
sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana
(Immanuel Kant).[2]
Saya melihat pemilik
modal sebagian besar hanya memanfaatkan kaum buruh sebagai alat untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Kaum buruh terus diperalat dengan dalil –
dalil yang akan mendaptkan keadilan setimpal dengan apa yang mereka kerjakan.
Namun pada kenyataannya, sebagian kaum buruh hidup dalam ketidakadilan.
Keadilan hanya dibicarakan selama di ruang publik. Sementara dibelakang ruang
publik sudah terjadi konspirasi antara pemilik modal dan lembaga – lembaga yang
bertugas untuk menegakkan keadilan. Keadilan hanya dijadikan sebagai simbol untuk
menutupi kejahatan para pemilik modal dan para penegak hukum. Problematika
inilah yang semakin berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sampai kapan
kita akan terus hidup dalam kebohongan ini. Kebohongan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibawah penderitaan kaum marginal.
2. Makna
keadilan
Perjuangan keadilan
merupakan tanggung jawab bersama kita sebagai bangsa yang berlindung di bawah
semangat Pancasila. Sila kelima ialah,”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Namun tidak dapat terelakkan lagi bahwa sampai saat ini pun,
keadilan di Negara ini belum sepenuhnya dirasakan oleh setiap warga Negara
Indonesia. Sebagai pendekatan kontekstual adalah saya mengambil realitas
kehidupan di daerah saya berasal. Saya berasal dari Desa Haumeni, Kecamatan
Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara – NTT. Perbandingan sarana dan
prasarana umum antara daerah yang satu dan yang lain bagaikan bumi dan langit,
khususnya yang berada di Kabupaten Timor Tengah Utara. Perbandingan jalan raya
yang berada di desa saya dengan desa yang lain sangat memprihatinkan. Di mana,
jalan raya yang berada di desa saya sepenuhnya tidak dikerjakan dengan baik
oleh pemerintah setempat. Padahal kalau kita melihat kembali ke masa lampau,
desa Haumeni merupakan bagian integral dari sejarah berdirinya kota Kefamenanu.
Karena para pionir/pendiri kota Kefamenanu pernah tinggal dan menyejarah
bersama dengan masyarakat setempat. Sayangnya, letak geografis desa Haumeni
yang tidak mendukung sistem pemerintahan, maka dengan berat hati para pendiri
memindahkan pusat pemerintahan ke beberapa tempat sebelum sampai ke Oemanu, yang
sekarang dikenal dengan kota Kefamenanu.
Jika pemerintah daerah
melihat sejarah dengan baik, maka tidak ada alasan lain, selain membangun jalan
raya dengan sepenuh hati. Saya mewakili masyarakat Haumeni tidak menuntut
banyak hal dari pemerintah daerah, tetapi kalau pemerintah daerah memberikan
sarana dan prasarana umum harus dikerjakan dengan sepenuh hati. Dalam hal ini
kami tidak mengatakan bahwa pemerintah daerah tidak efektif dalam mengerjakan
sesuatu, tetapi kami hanya menyampaikan aspirasi kami sebagai kaum awam yang
tidak tahu apa – apa. Aspirasi kami juga berangkat dari realitas yang
sebenarnya. Karena kami mencintai pemerintah dengan sepenuh hati, maka
pemerintah pun harus memberikan cintanya kepada kami dengan sepenuh hati juga.
Inilah sumbangan saya sebagai orang yang mencari kebijaksanaan, khususnya
sumbangan kepada masyarakat desa Haumeni. Saya hanya bisa menyampaikan aspirasi
ini melalui tulisan. Karena dalam tulisan saya memiliki kebebasan yang absolut.
Contoh kasus
ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Haumeni, juga dialami oleh jutaan
orang yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia yang terbentang dari
sabang sampai merauke. Ketidakadilan yang dialami oleh kaum buruh dan
masyarakat Haumeni mewakili jutaan masyarkat Indonesia. Problematika dari
ketidakadilan ini adalah sifat egois dari para pemilik modal dan para penguasa.
Fenomena inilah yang memberikan jarak pemisah antara pemilik modal, penguasa
dengan kaum buruh dan masyarakat. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa Negara kita tidak memiliki kesadaran diri untuk saling mendukung dan
menegakkan keadilan bersama. Di manakah letak eksistensi keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia? Jika kita membiarkan fenomena ini terus berkembang dalam diri
setiap pribadi, apa yang akan terjadi dengan kehidupan generasi berikutnya.
Barangkali yang akan terjadi adalah kita seperti rerumputan yang terus terpaku
menatap ketidakadilan yang semakin berkembang dalam diri setiap pribadi. Oleh
karena itu, sudah seyogyanya kita mengimplementasikan pemikiran Karl Marx dalam
kehidupan kita. Karena pemikiran ini mendorong kita untuk berjuang bersama kaum
minoritas. Makna keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang
menjadi haknya, bertindak yang benar, yang benar diapresiasi sementara yang
salah diproses sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Inilah eksistensi
dari keadilan.
3. Kesimpulan
Keadilan seharusnya
dirasakan oleh setiap orang sebagai makhluk yang memiliki kebebasan. Kebebasan
manusia didasarkan pada akal budinya. Akal budi manusia jangan sampai dijadikan
sebagai sarana untuk menguasai orang lain. Keadilan sejati merupakan adanya
kepuasan dalam kehidupan bersama. Inti dari keadilan adalah yang benar
diapresiasi, sementara yang salah diproses sesuai dengan undang – undang yang
berlaku. Keadilan tidak didasarkan pada konspirasi untuk mendapatkann
keuntungan di bawah penderitaan orang lain.
Akhirnya saya
berpendapat bahwa Karl Marx dan sila kelima pancasila telah memberikan potretan
singkat kepada kita sekalian untuk selalu memperjuangkan keadilan dengan cara
yang benar. Keadilan tidak didapatkan dengan uang. Karena martabat/kodrat
manusia lebih tinggi daripada kodrat uang. Keadilan harus dirasakan oleh setiap
orang yang berlindung di bawah semangat pancasila.
Daftar Pustaka
Pandor Pius. Seni Merawat Jiwa Tinjauan
Filosofis. Obor: Jakarta, 2014
Singkop Boas Boang, Marx Postoievsky
Nietzshe Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi.
Ar-RuzzMedia: Jogjakarta 2008
[1] Boang Singkop
Boas, Marx Postoievsky Nietzshe Menggugat Teodisi dan
Merekonstruksi Antropodisi (Jogjakarta: Ar-RuzzMedia, 2008), Hlm. 133
Kritik dan saran yang membangun dinantikan oleh penulis. Demi, perbaikan blog sederhana ini ke depan. Berkah Dalem
ReplyDelete